Sabtu, 13 Oktober 2012

Kasus Komputer Masyarakat

Kejahatan Siber di Indonesia Terbesar Kedua

Ketika produk teknologi informasi melalui perangkat komputer dan telepon selular membanjiri pasar di kota-kota besar Indonesia, tidak hanya mengundang decak kagum. Peranti komputer tercanggih, yang ditawarkan dengan harga miring, membuat ngiler masyarakat untuk memilikinya. Dan kini, hampir setiap orang tidak ada yang tak mengantongi telepon selular.
Kecanggihan produk teknologi informasi itu benar-benar membuai. Pengembangan teknologi itu senantiasa diikuti dari waktu ke waktu. Namun dampak negatif yang bakal ditimbulkannya, dalam hal ini kejahatan melalui media itu, baru terpikirkan setelah ada keresahan dari pihak yang dirugikan.
Pernah, beberapa tahun lalu, sejumlah bank kebobolan lantaran data nomor rekening sejumlah nasabahnya yang tersimpan di komputer telah disadap pelakunya yang sangat mengusai teknologi tersebut. Tidak mudah me- lacak si penyadap karena benar-benar tak diketahui jejaknya.
Kejahatan serupa pun dilakukan melalui telepon selular. Si pelaku bisa memperdayai korbannya dengan mengirim berita melalu SMS (short messages service) bahwa telah menang undian berhadiah uang. Si korban yang menerima kabar itu tanpa pikir panjang membeberkan nomor rekening ATM (anjungan tunai mandiri) banknya.
Yang tak kalah hebohnya adalah kasus pornografi melalui media internet. Ada sejumlah kasus bisa dilacak pelakunya. Tapi ada pula yang membuat polisi pusing tujuh keliling untuk melacaknya.
Munculnya kasus-kasus tersebut baru menyadarkan masyarakat bahwa kecanggihan teknologi itu bisa dimanfaatkan oleh maling-maling yang tak kalah canggihnya. Komisi Besar (Kombes) Pol Anton Tabah, Kepala Kemitraan Hubungan Masyarakat Mabes Polri, dalam satu diskusi yang diprakarsi Ikatan Alumni (IKA) Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) di Jakarta, baru-baru ini, mengemukakan bahwa sisi positif dunia siber (cyberspace) berderet ukur dengan sisi negatifnya. Salah satunya adalah kejahatan berdimensi baru yakni kejahatan siber (cybercrime).

Bentuk Kejahatan
Menurut dia, kejahatan siber meliputi pencucian uang (money laundering), penggelapan (program dibuat sedemikian rupa sehingga pelaku leluasa memasukkan instruksi termasuk mengubah data input dengan cara merusak data base), perbuatan curang (mengakses komputer milik orang lain untuk mentransfer dana korban termasuk penggelapan, pemalsuan informasi melalui komputer sehingga merugikan pihak lain), computer conspiracy (sinergi beberapa pelaku dengan keahliannya masing-masing melakukan pembobolan bank dengan menggunakan komputer sebagai sarana utamanya), hacking (menyebarkan virus komputer ke komputer pihak lain sehingga merusak program tanpa izin).
Sedangkan kejahatan siber difasilitasi teknologi informasi antara lain pembobolan kartu kredit. Catatan pihak kepolisian, ada 152 kasus pembobolan kartu kredit. Dari sisi jumlah, kasus ini masih yang tertinggi terjadi di Indonesia (95,60 persen).
Begitu pula tersangkanya menempati urutan teratas, yakni sebanyak 220 tersangka dan diidentifikasi seluruhnya berlokasi di Indonesia, dan terkonsentrasi di Pulau Jawa (81,19 persen), Di luar Jawa, sebanyak 8,26 persen di Sumatera, 1,38 persen di Sulawesi dan Kalimantan, serta 7,80 persen di wilayah lainnya.
Selain pembobolan kartu kredit, paparnya, ada pula penipuan perbankan. Kejahatan ini pernah terjadi di Solo, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, serta Jakarta.
Ketua Lembaga Budaya Hukum, Sutito, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi, mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi di masyarakat. Hal ini didasarkan pada teori crime is product of society itself. Artinya, masyarakat itu sendiri yang melahirkan satu kejahatan.
Kemajuan teknologi informasi sebagai cermin kian tingginya tingkat intelektualitas masyarakat, pada perkembangannya juga membuka peluang munculnya tindakan kejhatan di dunia perbankan, bisnis, antisosial dan perilaku kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi.
Bahkan keragaman kejahatan dengan komputer telah melahirkan perbendaharaan bahasa baru, misalnya hacking (pembobol jaringan dan program), cracking (pembobol sistem secara illegal), dan carder (pembobol kartu kredit), spaming.
Karena dampak kejahatan ini sangat luas dan banyak merugikan perekonomian masyarakat, kata Sutito, bila tidak ditanggulangi secara serius sejak dini, bisa jadi akan semakin berkembang dan kian sulit penanganannya.

Sarang Teroris Cyberspace
Apalagi menurut Anton, Mabes Polri mencatat, selama tahun 2002, terdapat 166 kasus kejhatan siber di Indonesia. Dan berdasar data Clear Commerce tahun 2002, Indonesia hingga kini merupakan negara yang memiliki kasus kejahatan siber nomor dua di dunia setelah Ukraina. Padahal tahun 2001, Indonesia masih berada pada urutan ke-6 dunia atau ke-4 di Asia. Bahkan, kata staf khusus Kapolri ini, Indonesia dinilai sebagai sarang teroris cyberspace. Akibatnya, banyak alamat internet protocol Indonesia yang diblokir.
Realitasnya, saat ini, masyarakat sudah bergantung pada sarana komputer yang hampir setiap tahun teknologinya senantiasa berkembang. Secara teknis, pengamanannya seharusnya menjadi tugas si produsen. Tapi, pada kenyataannya, tanggungjawab untuk masalah itu menjadi beban si penggunanya.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, ditambah lagi penyalahgunaan komputer dewasa ini sudah melampaui batas-batas wilayah negara melalui penghubung sistem-sistem komputer secara internasional, Sutito berpandangan bahwa kerja sama antarbangsa di bidang hukum pidana maupun perdata mutlak diusahakan.
Sementara itu, rekomendasi IKA Permahi, yang disampaikan Wakil Ketua Penelitian dan Pengembangan, Wawan Tunggul Alam, pertama, DPR perlu berinisiatif menyusun perangkat hukum yang bisa menangani kasus kejahatan siber. Kedua, karena masih lemahnya hukum kejahatan siber membuat orang enggan mengajukan perkaranya ke pengadilan, sehingga mereka memilih jalan sendiri untuk menyelesaikannya.
Contohnya dalam kasus pembobolan kartu kredit, kalangan perbankan justru berusaha menyelesaikannya sendiri karena terkait dengan upaya menjaga citranya. Ketiga, aparat penegak hukum, khususnya hakim, sebaiknya menguasai atau setidaknya memahami teknologinya agar ketika menangani perkara kejahatan siber justru tidak menimbulkan masalah baru. (W-5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar