Kejahatan Siber di Indonesia Terbesar Kedua
etika
produk teknologi informasi melalui perangkat komputer dan telepon
selular membanjiri pasar di kota-kota besar Indonesia, tidak hanya
mengundang decak kagum. Peranti komputer tercanggih, yang ditawarkan
dengan harga miring, membuat
ngiler masyarakat untuk memilikinya. Dan kini, hampir setiap orang tidak ada yang tak mengantongi telepon selular.
Kecanggihan produk teknologi informasi itu benar-benar membuai.
Pengembangan teknologi itu senantiasa diikuti dari waktu ke waktu. Namun
dampak negatif yang bakal ditimbulkannya, dalam hal ini kejahatan
melalui media itu, baru terpikirkan setelah ada keresahan dari pihak
yang dirugikan.
Pernah, beberapa tahun lalu, sejumlah bank kebobolan lantaran data nomor
rekening sejumlah nasabahnya yang tersimpan di komputer telah disadap
pelakunya yang sangat mengusai teknologi tersebut. Tidak mudah me- lacak
si penyadap karena benar-benar tak diketahui jejaknya.
Kejahatan serupa pun dilakukan melalui telepon selular. Si pelaku bisa memperdayai korbannya dengan mengirim berita melalu SMS (
short messages service)
bahwa telah menang undian berhadiah uang. Si korban yang menerima kabar
itu tanpa pikir panjang membeberkan nomor rekening ATM (anjungan tunai
mandiri) banknya.
Yang tak kalah hebohnya adalah kasus pornografi melalui media internet.
Ada sejumlah kasus bisa dilacak pelakunya. Tapi ada pula yang membuat
polisi pusing tujuh keliling untuk melacaknya.
Munculnya kasus-kasus tersebut baru menyadarkan masyarakat bahwa
kecanggihan teknologi itu bisa dimanfaatkan oleh maling-maling yang tak
kalah canggihnya. Komisi Besar (Kombes) Pol Anton Tabah, Kepala
Kemitraan Hubungan Masyarakat Mabes Polri, dalam satu diskusi yang
diprakarsi Ikatan Alumni (IKA) Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia
(Permahi) di Jakarta, baru-baru ini, mengemukakan bahwa sisi positif
dunia siber (
cyberspace) berderet ukur dengan sisi negatifnya. Salah satunya adalah kejahatan berdimensi baru yakni kejahatan siber (
cybercrime).
Bentuk Kejahatan
Menurut dia, kejahatan siber meliputi pencucian uang (
money laundering),
penggelapan (program dibuat sedemikian rupa sehingga pelaku leluasa
memasukkan instruksi termasuk mengubah data input dengan cara merusak
data base), perbuatan curang (mengakses komputer milik orang lain untuk
mentransfer dana korban termasuk penggelapan, pemalsuan informasi
melalui komputer sehingga merugikan pihak lain),
computer conspiracy (sinergi
beberapa pelaku dengan keahliannya masing-masing melakukan pembobolan
bank dengan menggunakan komputer sebagai sarana utamanya),
hacking (menyebarkan virus komputer ke komputer pihak lain sehingga merusak program tanpa izin).
Sedangkan kejahatan siber difasilitasi teknologi informasi antara lain
pembobolan kartu kredit. Catatan pihak kepolisian, ada 152 kasus
pembobolan kartu kredit. Dari sisi jumlah, kasus ini masih yang
tertinggi terjadi di Indonesia (95,60 persen).
Begitu pula tersangkanya menempati urutan teratas, yakni sebanyak 220
tersangka dan diidentifikasi seluruhnya berlokasi di Indonesia, dan
terkonsentrasi di Pulau Jawa (81,19 persen), Di luar Jawa, sebanyak 8,26
persen di Sumatera, 1,38 persen di Sulawesi dan Kalimantan, serta 7,80
persen di wilayah lainnya.
Selain pembobolan kartu kredit, paparnya, ada pula penipuan perbankan.
Kejahatan ini pernah terjadi di Solo, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, serta
Jakarta.
Ketua Lembaga Budaya Hukum, Sutito, yang juga menjadi pembicara dalam
diskusi, mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu
masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi di
masyarakat. Hal ini didasarkan pada teori
crime is product of society itself. Artinya, masyarakat itu sendiri yang melahirkan satu kejahatan.
Kemajuan teknologi informasi sebagai cermin kian tingginya tingkat
intelektualitas masyarakat, pada perkembangannya juga membuka peluang
munculnya tindakan kejhatan di dunia perbankan, bisnis, antisosial dan
perilaku kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi.
Bahkan keragaman kejahatan dengan komputer telah melahirkan perbendaharaan bahasa baru, misalnya
hacking (pembobol jaringan dan program),
cracking (pembobol sistem secara illegal), dan
carder (pembobol kartu kredit),
spaming.
Karena dampak kejahatan ini sangat luas dan banyak merugikan
perekonomian masyarakat, kata Sutito, bila tidak ditanggulangi secara
serius sejak dini, bisa jadi akan semakin berkembang dan kian sulit
penanganannya.
Sarang Teroris Cyberspace
Apalagi menurut Anton, Mabes Polri mencatat, selama tahun 2002, terdapat
166 kasus kejhatan siber di Indonesia. Dan berdasar data Clear Commerce
tahun 2002, Indonesia hingga kini merupakan negara yang memiliki kasus
kejahatan siber nomor dua di dunia setelah Ukraina. Padahal tahun 2001,
Indonesia masih berada pada urutan ke-6 dunia atau ke-4 di Asia. Bahkan,
kata staf khusus Kapolri ini, Indonesia dinilai sebagai sarang teroris
cyberspace. Akibatnya, banyak alamat internet protocol Indonesia yang
diblokir.
Realitasnya, saat ini, masyarakat sudah bergantung pada sarana komputer
yang hampir setiap tahun teknologinya senantiasa berkembang. Secara
teknis, pengamanannya seharusnya menjadi tugas si produsen. Tapi, pada
kenyataannya, tanggungjawab untuk masalah itu menjadi beban si
penggunanya.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, ditambah lagi penyalahgunaan
komputer dewasa ini sudah melampaui batas-batas wilayah negara melalui
penghubung sistem-sistem komputer secara internasional, Sutito
berpandangan bahwa kerja sama antarbangsa di bidang hukum pidana maupun
perdata mutlak diusahakan.
Sementara itu, rekomendasi IKA Permahi, yang disampaikan Wakil Ketua
Penelitian dan Pengembangan, Wawan Tunggul Alam, pertama, DPR perlu
berinisiatif menyusun perangkat hukum yang bisa menangani kasus
kejahatan siber. Kedua, karena masih lemahnya hukum kejahatan siber
membuat orang enggan mengajukan perkaranya ke pengadilan, sehingga
mereka memilih jalan sendiri untuk menyelesaikannya.
Contohnya dalam kasus pembobolan kartu kredit, kalangan perbankan justru
berusaha menyelesaikannya sendiri karena terkait dengan upaya menjaga
citranya. Ketiga, aparat penegak hukum, khususnya hakim, sebaiknya
menguasai atau setidaknya memahami teknologinya agar ketika menangani
perkara kejahatan siber justru tidak menimbulkan masalah baru. (W-5)